[Cerpen] Keren Juga Aktingnya

Karya: Vila Sofia

Pada hari Kamis yang cerah, sinar matahari telah menampakkan dirinya dari bagian timur bumi. Semua orang berlalu lalang memulai aktivitasnya masing-masing. Winta sedang berjalan di koridor lantai 2. Dia baru saja sampai setelah sang kakak mengantarnya sampai gerbang sekolahnya tadi. Sambil bersenandung kecil, ia berjalan menaiki tangga menuju lantai 3. Sesampainya di kelas, Winta terheran melihat suasana kelasnya yang sangat ricuh. Semua orang di kelas tampak saling beradu mulut. Ada yang saling melempar kata kata pedas, menyalahkan sana sini, dan lainnya. 

        “Bukannya kemarin lo yang terakhir keluar kelas, ya?” sinis Yeri pada Jina.

        “Iya. Kenapa emangnya?” balas Jina menantang. Dia tahu jika Yeri di beri jawaban apapun, ia pasti akan tetap pada pendiriannya.

        “Berarti lo berpotensi pelakunya, dong.” tunjuk Jihan pada Jina. Yang ditunjuk hanya menatap si lawan bicara jengah.

        “Kenapa nih?” tanya Winta yang baru saja meletakkan tas di bangkunya. 

        “Kas kelas hilang.” jawab Karina sambil menghela nafas.“Hah? Kok bisa? Terus ini dari tadi pada tuduh-tuduhan?” tanya Winta lagi. 

        “He’em, tuh lihat!” sahut Sunu. 

        “Kok pada ngehujat gue, sih? Kan gue cuma ngasih pendapat.” ujar Yeri tak suka. 

        “Pendapat apanya? Itu mah lo nuduh, kids.” sahut Paji julit sambil menunjuk Yeri. Wajah Yeri sudah sangat kesal. Baru saja dia akan membuka mulut lagi, Winta bersuara tiba-tiba.

        ”Eh, udah yuk! ayo coba kita tenang dulu. Ngomong baik-baik gitu, nanti kita selidiki pelan-pelan juga.” yang lain terlihat ragu mendengarkan ucapan Winta. 

        “Emangnya ada waktu buat nyelidikin? Lusa, kan ada bazar angkatan.” ucap Saga yang membuat seluruh kelas menjadi cemas. 

        “Eh, bener. Baru inget sumpah.”

        “Aduh, iya juga.”

        “Haaah… Terus gimana, nih?”

Masih banyak lagi keluhan seluruh penghuni kelas yang merasa khawatir tentang hilangnya kas kelas mereka. Sekolah mereka nanti akan mengadakan bazar antar kelas sembilan di hari sabtu nanti. Setiap kelas akan membuka stand yang menjual berbagai macam makanan, minuman, dan berbagai barang kepada semua warga sekolah. Pastinya itu semua dimodali oleh kas kelas masing-masing. Sedangkan uang kas kelas IX F telah raib entah kemana. 

        “Pasti bisa. Kalau kita semua bisa jujur dan kompak. Pasti nggak bakal butuh waktu lama.” kata Winta meyakinkan. Akhirnya teman-temannya setuju untuk membicarakan ‘kasus’ ini tanpa menggunakan emosi berlebih. 

Bel istirahat telah berbunyi. Para siswa dan siswi SMP Treasure berhamburan keluar kelas menuju kantin sekolah yang sekarang sudah sangat sesak dan teriakan sana sini. 

        “Bu, risol mayonya satu.”

        “Lho, gue duluan yang ngantri deh. Kok lo tiba tiba di depan gue, sih?”

        “Misi, woy. Sempit amat!”

        “Aduh, kaki gue keinjek, cuy!”

        “Awas! Awas! Air panas, air panas!”

Begitulah suasana kantin SMP Treasure pada saat jam istirahat. Sangat sesak dan berisik, bahkan sampai ada yang kakinya terinjak-injak seperti yang di atas. Sementara di tempat duduk paling pojok, telah dibuka forum diskusi Winta dan teman-temannya. Ala-ala pertemuan para detektif yang sedang menyelidiki salah satu kasus paling rumit, kalau kata Haikal. 

        “Udah? Cuma segini doang yang mau diskusi?” Winta menatap teman-temannya satu-persatu. Sebelum mereka memutuskan untuk berdiskusi di kantin, di kelas tadi, Jeno selaku ketua kelas menawarkan beberapa anggota kelas yang bersedia membicarakan hal ini. Beberapa mengangkat tangan, ada Karina, Jijel, Yuna, Jeman, Sonu, Paji, Haikal, Reyhan, dan si kembar Haje dan Heji.

         “Ho’oh, ntar kalau ada Yeri dkk sama Jina malah debat lagi.” kata Sonu malas. 

         “Yaudah, ayo mulai aja.” kata Jeno tak sabar. 

         “Hih, bentar. masa kalian nggak mau sambil makan atau minum gitu diskusinya?” protes Winta. Jeman memutar bola matanya malas, lalu memberikan selembar uang berwarna merah kepada Haje.

         “Sana pada bilang Haje pada mau pesen apa!” kata nya santai. Haje yang kebingungan menunjuk dirinya sendiri.

         “ Lah? Terus gue?” Jeman menatap malas Haje,

         “Ya lo pesan juga, cuy. Kembaliannya buat lo aja.” ucapan Jeman membuat raut kebingungan Haje menghilang digantikan oleh senyuman lebar yang membuat kedua matanya menyipit seperti bulan sabit. 

         “Aye aye, kapten!” ujarnya senang sambil memberikan hormat kepada Jeman.

         “Lo kan bendaharanya, ceritain kejadian awal lo nemuin pouch kelas kosong, dong!” kata Paji memulai forum diskusi mereka.

         “Jadi gini, lo tau, kan? kalau pouch kas ada di lemari kelas? Ya biasanya gue bawa pulang sih. Tapi kemarin pas-pas an juga lusa nya ada bazar angkatan. Rencana gue tinggalin aja biar nanti pas ada yang belanja keperluan nggak ribet-ribet. Pagi-pagi gue buka lemari, se-pouch nya juga nggak ada. Gue udah nyari ke seluruh penjuru kelas, sampai nanya ke cleaning service yang biasanya ngebersihin koridor lantai 3. Nihil, woy.” Jelas Yuna panjang lebar. 

          “Lo yakin udah bener-bener lo taruh lemari?” tanya Heji memastikan.

          “Yakin banget.” Yuna mengangguk. 

          “Gembok lemari kan pake kode. Otomatis, pelakunya tau kodenya. Sedangkan, yang tau kodenya cuma walas, ketua, wakil, sekretaris, sama yang pastinya bendahara.” kata Sonu sambil menatap temannya satu-persatu. 

          “Bener juga, berarti kita harus fokus ke struktur kelas?” tanya Haikal. 

          “Belum tentu. Bisa jadi ada orang selain struktur kelas yang tau.” sanggah Jeno. 

Saat di tengah pembahasan, tiba-tiba bel masuk berbunyi. Menandakan bahwa jam istirahat telah berakhir. Mau tak mau, mereka harus menghentikan forum diskusi mereka. Sesampainya di kelas, ternyata guru yang mengajar kelas mereka sedang berhalangan hadir dan tak ada tugas yang diberikan. Jadi, Jeno memutuskan untuk mengisi jam tersebut dengan melanjutkan pembahasan masalah kelas mereka. 

         “Guys, daripada jamkos pada gabut, mending kita bahas kas kelas, ya?” kata Jeno di tengah suasana kelas yang tak terlalu ramai. Semuanya pun menyetujui ajakan si Ketua Kelas. 

         “Oke, kalian semua tolong siapin kertas kecil dan pulpen. Tulis nama kalian masing-masing!” Instruksi Jeno pada teman-temannya.

         “Jawab jujur! Apa lo yang ngambil kas kelas? Semua cuma boleh nulis ‘ya’ dan ‘tidak’. Kalau udah, bisa dilipat terus masukin ke kotak ini!” katanya tegas sambil mengambil kotak yang terletak di atas meja guru. Lalu Jeno berkeliling ke setiap meja teman-temannya. 

Jijel baru saja memasukkan kertasnya ke dalam kotak yang disodorkan Jeno kepadanya. Semuanya sudah selesai, tinggal ia yang sedari tadi menunggu Jeno yang sedang berkeliling.

         “Bakalan ada yang ngaku, Jen?” tanyanya. Jeno mengangkat satu alisnya, 

        “Kalau nggak ada yang ngaku, yaudah. kita bakal masuk ke proses penyelidikan. Dia yang ketangkep ga akan ada toleransi lagi. Kita bakal lapor ke kepsek hari itu juga.” jawab Jeno sengaja mengeraskan suaranya agar seluruh kelas mendengarnya.

         “Wuih…Beneran kayak detektif aja kita.” Haikal cekikikan.

         “Terus ini diperiksa siapa?” tanya Jina. 

         “Ini bakal gue serahin ke wali kelas.” final Jeno.

Winta sedang duduk di bangku lapangan sekolah, menunggu dijemput oleh kakaknya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru sekolah dan mendapati Jeman sedang berjalan ke arahnya. 

         “Kok belum pulang, Win?” tanyanya. 

         “Belum dijemput. Lo juga?” balas Winta sembari bertanya balik kepada Jeman yang hanya di balas oleh anggukan olehnya. 

         “Oh, iya. Jeno nggak ikutan nulis nggak papa?” pertanyaan Winta membuat Jeman mengernyit. 

         “Kayak nggak mungkin aja Jeno pelakunya. Dia gabut aja main tembakan supreme pake duit beneran.” Kata Jeman yang membuat Winta membulatkan matanya. Jeman tertawa melihat ekspresi terkejut Winta. “Secara dia rich gitu kan, Win. Apalagi dia ketua kelas.”

Keesokan harinya.

    BRAK! Pagi-pagi sekali terdengar gebrakan meja yang mengejutkan seisi sekolah. Jeno selaku pelaku penggebrak meja menatap marah sekelilingnya.

         “Masih ada yang belum ngaku juga ternyata.” geramnya.

Jeman dan Saga yang melihat Jeno akan segera meledakkan amarahnya segera menghampiri si Ketua Kelas.

         “Sabar, Jen. Sabar.” kata Jeman menenangkan. Sementara Saga menepuk-nepuk punggung lebar Jeno. Mereka berdua paham sekali tipikal Jeno yang tak banyak bicara bak air tenang tanda kedalaman seketika bisa meluap menjadi tsunami yang menyapu segala hal dengan amarahnya. Sepulang sekolah, Winta dan teman-temannya memutuskan untuk berkumpul di aula sekolah. Tidak lupa untuk meminta izin ke tata usaha untuk meminjam aula sekolah sebentar.

          “Ck, kenapa nggak ngecek CCTV aja, sih dari tadi?” kata Jeman tiba-tiba yang membuat seluruh manusia yang ada di sana menepuk jidat. Hey! kenapa tidak dari tadi?

          “Lah, iya. Pinter banget lo.” puji Haikal.

          “Emang dari lahir.” balas Jeman cuek.

Atas usul Jeman yang mendadak tadi, mereka bergegas mencari Pak Tomy yang menjadi ketua satpam sekolah. Setelah bertemu, Jeno meminta izin untuk diizinkan melihat rekaman CCTV sekolah. Mereka pun diizinkan untuk pergi ke ruangan CCTV bersama Pak Tomy. 

          “Hari Rabu, tanggal 13, pukul 13.15. Coba cek koridor lantai 3, pak.” Haje berucap. Tak lama kemudian, hanya warna hitam yang ditampilkan oleh monitor tengah paling atas.

          “Lho, kayaknya ini mati lampu.” kata Pak Tomy.

           Reyhan menyatukan alis curiga, “Emang kalau siang-siang biasanya mati lampu, pak?”

          “Biasanya sih enggak. Soalnya kemarin juga, baru saja diisi ulang. kecuali kalau ada pemadaman dari pusat, ya mati semua.” jelas Pak Tomy. Semuanya diam berpikir. 

          “Eh, bentar. Kalau mati lampu dari pusat, kok CCTV kantin juga nggak ikut mati?” sela Karin tiba-tiba. 

          “Correct! Kayaknya ada yang sengaja matiin listrik gedung kelas biar nggak ketahuan CCTV dalam ngejalanin aksinya.” tambah Jijel.

          “Ada yang ke pusat listrik berarti. Siapa tau ada clue.” usul Winta.

          “Apa gue doang yang mikir kalau pelakunya ada lebih dari 1 orang?” gumam Heji yang membuat semua orang menoleh.

          “Hey, make sense juga, woy.” sahut Yuna.

          “1 orang matiin listriknya, yang lainnya ngambil pouch nya.” lanjut Heji.

          “Berarti ada yang ke kelas juga kalau gitu.” mereka berpencar. Jeman, Winta, dan Jeno yang baru saja sampai di pusat listrik sekolah menemukan bekas cairan tipe-ex yang menempel di salah satu saklar listrik yang diprediksi adalah saklar gedung kelas. Sedangkan Haikal, Jijel, dan Reyhan yang berada di kelas, menemukan tumpahan cairan tipe-ex yang sudah mengering di meja samping lemari dan gantungan kunci berbentuk patung Singa Merlion yang sepertinya terputus dan terselip di bawah meja guru. Tersusun sudah clue yang mereka temukan. 

          “Berarti tinggal lihat besok siapa yang di tangannya ada bekas tipe-ex? Emangnya bekasnya belum hilang?” tanya Sonu. 

          “Coba cek CCTV gerbang, Pak. Lihat siapa yang terakhir keluar sekolah.” Haikal mengamati jari-jari Pak Tomy yang lincah menari di atas keyboard. Setelah mengatur semua nya, mereka mengamati dan menunggu dengan seksama. Tak lama, pada tampilan layar monitor terlihat dua orang siswi melewati gerbang sekolah. Winta dan teman-temannya  merasa tak asing dengan postur tubuh dan tas yang 2 siswi itu kenakan. Semua bukti telah terkumpul, mereka memutuskan untuk bertemu dengan pelakunya di keesokan harinya. 

Keesokan harinya.

           “Han, 2 minggu kemaren lu habis dari Singapura, ngga sih? Lo beli apa aja disana ?Kok kita ngga di kasih oleh-olehnya sih?” celetuk Paji tiba-tiba. Jihan menoleh, 

           “Kemarin, gue nggak lama di Singapura, Ji. Cuma ke rumah kerabat bunda gue aja. Cepet-cepet juga, jadinya cuma beli gantungan kunci aja.”

           “Lihat dong, Han.” ujar Jijel. Jihan sibuk meraba resleting tas nya, namun ia tak menemukan gantungan yang dimaksud. 

           “Kok nggak ada, ya. Mungkin jatuh.” Jihan merasa kikuk. Tanpa aba-aba, Jeman mengeluarkan patung Singa Merlion kecil dari saku celananya. 

           “Kemarin gue nemu di dekat meja guru sama lemari.” Jina mengambil benda tersebut dari Jeman, dan tanpa sengaja Winta yang berdiri di samping Jeman melihat bekas cairan tipe-ex yang sudah mengering di tangan Jina dan hampir saja menghilang. 

    Setelah menjelaskan semuanya kepada sang wali kelas, Jihan dan Jina dibawa ke ruang kepala sekolah. Mereka berdua merasa malu melihat wajah semua orang. Winta dan teman-temannya hanya bisa menatap iba 2 orang itu. 

            “Keren juga aktingnya.” Paji menatap Jihan dan Jina yang digiring ke ruang kepala sekolah.               

            “Hush! Gaboleh gitu lu.” tegur Karin.

            “Good job, guys!” Jeno mengajak mereka berkumpul dan ber-tos ria. Semua anggota kelas memberikan mereka tepuk tangan dan berbagai pujian atas keberhasilan mereka mengupas tuntas masalah ini. Case closed!

The End. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *